Equityworld Futures Semarang - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang sangat perkasa, sebab bank sentralnya (The Fed) berencana menaikkan suku bunga dengan agresif tahun depan. Namun, bukan berarti rupiah terpuruk. Justru sebaliknya rupiah mampu menguat tipis. Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,03% ke Rp 14.360/US$, setelahnya sempat stagnan di Rp 14.365/US$ sebelum menguat lagi 0,07% ke Rp 14.355/US$. Sepanjang perdagangan rupiah bergerak di rentang tersebut sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.360/US$. Meski penguatannya tipis, rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia hanya kalah dari won Korea Selatan yang melesat 0,4%. Mayoritas mata uang utama Asia melemah pada hari ini. Indeks dolar AS hingga sore ini masih menguat 0,21% ke 100,14 yang merupakan level tertinggi dalam 2 tahun terakhir. The Fed) hampir pasti menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan depan terus menopang penguatan dolar AS. Beberapa pejabat elit The Fed, termasuk sang ketua Jerome Powell secara terbuka menyatakan dukungannya untuk menaikkan suku bunga lebih agresif guna meredam inflasi. Survei terbaru yang dilakukan Reuters terhadap 102 ekonom pada periode 4 - 8 April menunjukkan 85 orang memproyeksikan suku bunga akan dinaikkan 50 basis poin di bulan Mei. Selain itu 56 orang juga memprediksi The Fed akan melakukan langkah yang sama di bulan Juni. Jika prediksi tersebut akurat, maka itu akan menjadi kali pertama bagi The Fed menaikkan suku bunga back-to-back 50 basis poin sejak tahun 1994. James Knightley, kepala ekonomi di ING bahkan memproyeksikan kenaikan 50 basis poin dalam 3 pertemuan beruntun. "Mendengar komentar-komentar dari pejabat The Fed dan tekanan inflasi yang diteruskan ke perekonomian, kami percaya The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada Mei, Juni dan Juli," kata Knightley, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (11/4/2022). Namun, dengan agresifnya The Fed mengerek suku bunga, para ekonom tersebut juga memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%. Perekonomian AS sejak krisis finansial global 2008 sudah terbiasa dengan suku bunga rendah. Ketika The Fed agresif menaikkan suku bunga di 2018, tanda-tanda resesi pun muncul di 2019, yakni inversi antara yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dengan 10 tahun. Perekonomian AS akhirnya mengalami resesi di tahun 2020, meski salah satu pemicunya pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Inversi kembali terjadi pada 31 Maret lalu. Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi. Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal). "The Fed terlihat merasa perlu untuk cepat menaikkan suku bunga guna mengontrol inflasi dan ekspektasi inflasi. Kenaikan suku bunga yang cepat meningkatkan risiko salah mengambil kebijakan dan itu bisa membawa perekonomian masuk ke dalam resesi," kata Knightley. Read More EWF PRO - Portal News
0 Comments
Leave a Reply. |
OFFICIAL WEBSITEPT Equityworld FuturesProfil Perusahaan Landasan Hukum Badan Pengawasan Perdagangan Contact Us AuthorSemangat manggapai sukses. Archives
April 2022
Categories
All
|